jangan bicara: anjing! di lampu merah.

Lara Kalatha
2 min readNov 15, 2023

--

ew, people.

Dilarang bicara: anjing! Di lampu merah.

Hari ini kau sedang dalam keadaan ruwet-ruwetnya dan jalanan sedang diburu (atau dirubung?) macet. Caci maki dan kawan-kawannya (atau deru klakson?) tidak ada gunanya. Jadi, kau mulai menjelma Perisandi Huizche berikut kertas-kertas Chairil yang liar: bangsat!

Sejatinya, hal-hal berbau elegansi dalam mengenakan bahasa milik ibu seperti memakai kebaya dan jarik itu cuma selongsong kosong agar kau dan aku paham dalam berbagai hal di masing-masing kepala: monyet! — meskipun kadang-kadang kau tak mengerti dan kita saling adu umpat.

Tempurungmu mendadak keras dan sulit dicongkel. Perilaku-perilaku konservatif harus terpelihara tanpa ada tapi dan namun. “Ini topik sensitif,” katamu, tapi. Budaya ibu tidak boleh dinodai. Namun, kau buang kotoran sembarangan: persetan, aku kena damprat.

Seluruh dorongan pada akal sehatmu yang pada dasarnya cela dan cerca adalah bagian dari seni; bahasa ibumu sendiri.

Kau hidup sebagai arbituren terpelajar didengar dari tindak-tanduk dan misah-misuh sambil melupakan bahwa “asu” dan “babi” pun bagian dari kamus peradaban. Dengan demikian, dengan seluruh sentimen yang sulit dilepaskan, kau jengah dan seperti berandal yang beradab — manusiawi untuk merayakan: bangsat! dan kawan-kawannya.

Lagu “Peradaban” telah khatam didengungkan. Kau sadar dan terlempar kembali pada dunia nyata. Liar adalah malapetaka yang rapuh sebab kau mulai bangun dan terjaga ketika bunyi klakson terdengar seperti gemuruh di belakang dan kau melihat pria tambun di mobil seberang sedang membuang cerutu dan meludah: anjing!

Kalau tidak boleh dilempar sembarangan, lantas mengapa diciptakan?

— Lara, 151123.

Bodo amat, saya cuma mau ngumpat.

--

--